Thursday, March 19, 2009

Korupsi @ Rasuah...polemik dan reality Indonesia



Definisi Gratifikasi

Korupsi seringkali berawal dari kebiasaan yang tidak disadari oleh Pengawai Negeri dan Pejabat Penyelenggara Negara, misal penerimaan hadiah oleh Pejabat dan keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian tertentu seperti diskon yang tidak wajar atau fasilitas perjalanan

Hal semacam ini lama kelamaan akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh Pegawai Negeri atau Pejabat Penyelenggara Negara yang bersangkutan. Banyak orang berpikir dan berpendapat bahwa pemberian itu sekedar tanda terima kasih dan sah-sah saja. Namun perlu disadari, bahwa pemberian tersebut selalu terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa.
Karena itulah UU mengatur tentang Gratifikasi yaitu pemberian dalam arti luas kepada Pegawai Negeri atau Pejabat Penyelenggara Negara.
Ada baiknya kita ketahui dengan benar, apa saja yang termasuk dalam kategori korupsi, agar kita bisa mulai memperbaiki sikap dan perilaku kita dalam memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Negara tercinta ini.

Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001

Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

  • Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
  • Pengecualian
    Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
    – Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Suap (bribery) – Ps.5 UU 31/99 jo UU 20/01

  • Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri / Penyelenggara Negara dengan maksud supaya ybs berbuat/tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. (Berlaku untuk yg memberi dan yg diberi) – Diadopsi dari pasal 209 KUHP.
  • Ancaman pidana min 1 tahun maks 5 tahun dan atau denda min Rp 50 jt maks Rp 250 jt.

Peraturan gratifikasi

Peraturan yang mengatur Gratifikasi adalah:

Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 yo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 yo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK

Penjelasan aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:

  1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
  2. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

Pasal 12B ayat (1) UU No. 20/2001
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pembuktian terbalik);
  2. yang nilainya kurang dari Rp 10 juta pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Pelapor Gratifikasi
Gratifikasi wajib dilaporkan oleh setiap Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut PN adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; dan Pegawai Negeri sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

Penyelenggara Negara yang harus menyerahkan Gratifikasi adalah:

  1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
  2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
  3. Menteri;
  4. Gubernur;
  5. Hakim;
  6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    - Duta Besar;
    - Wakil Gubenur;
    - Bupati/Walikota
  7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    - Komisaris, Direksi, Pejabat Struktural pada BUMN & BUMD;
    - Pimpinan BI;
    -
    Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri
    - Pejabat Eselon Satu dan pejabat lain yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer;
    - Jaksa;
    - Penyidik;
    - Panitera Pengadilan;
    - Pimpinan Proyek atau Bendahara Proyek.

p/s : very personal dude…

1 comments:

David Pangemanan said...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku

yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku

untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku

Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Sungguh ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya

membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil terus berlindung dibawah 'dokumen dan rahasia

negara'. Tak terbantah statemne KAI yang menyatakan bahwa negara ini berdiri diatas pondasi

suap. Sayangnya sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh terpuruk sesat dalam kebejatan

moral. Quo vadis Hukum Indonesia?

David
(0274)9345675